Minggu, Oktober 10, 2010

Kekasih standar atau Kekasih sejati?

Kekasih standar selalu ingat senyum di wajahmu

Kekasih sejati juga mengingat wajahmu sewaktu sedih

Kekasih standar akan membawamu makan makanan yang enak-enak

Kekasih sejati akan mempersiapkan makanan yang kamu suka

Kekasih standar setiap detik selalu menunggu telpon dari kamu

Kekasih sejati setiap detik selalu teringat ingin menelponmu

Kekasih standar selalu mendoakanmu kebahagiaan

Kekasih sejati selalu berusaha memberimu kebahagiaan

Kekasih standar mengharapkan kamu berubah demi dia

Kekasih sejati mengharapkan dia bisa berubah untuk kamu

Kekasih standar paling sebal kamu menelpon waktu dia tidur

Kekasih sejati akan menanyakan kenapa sekarang kamu baru telpon?

Kekasih standar akan mencarimu untuk membahas kesulitanmu

Kekasih sejati akan mencarimu untuk memecahkan kesulitanmu

Kekasih standar selalu bertanya mengapa kamu selalu membuatnya sedih?

Kekasih sejati akan selalu mananyakan diri sendiri mengapa membuat kamu sedih?

Kekasih standar selalu memikirkan Penyebab perpisahan

Kekasih sejati memecahkan penyebab perpisahan

Kekasih standar bisa melihat semua yang telah dia korbankan untukmu

Kekasih sejati bisa melihat semua yang telah kamu korbankan untuknya

Kekasih standar berpikir bahwa pertengkaran adalah akhir dari segalanya

Kekasih sejati berpikir, jika tidak pernah bertengkar tidak bisa disebut cinta sejati

Kekasih standar selalu ingin kamu di sampingnya menemaninya selamanya

Kekasih sejati selalu berharap selamanya bisa disampingmu menemanimu

nah pikir dech lo masuk kategori yg mana ??????

Takut akan kesendirian

Kala ku mulai gelisah menapaki lika-liku kehidupan, pedih-perih rasa hati ini menginjak bara-bara kegetiran. Ku berlari dan terus berlari mengacuhkan lelah. Kan ku kibas peluh-peluh luka yang masih tersisa. Aku ingin menertawakan kepedihan, mencaci setiap keluhan, mengejek keputus asaan dan akan terus berlari menyusuri labirin penderitaan.
Karena aku adalah derita dan derita adalah aku. Biarlah kerikil bercadas meyapa kakiku, tak peduli panas menyengat kepalaku, biar saja hujan memeluk tubuhku dan badai membelai mesra ragaku. Biarlah, biar saja, ku tak akan peduli. Meski tanpa arah dan tujuan aku akan terus berlari membawa kegelisahan ini. karena aku sangat benci pada mentari, aku kecewa pada siang dan aku tidak akan berhenti apalagi bernaung di senja ini. Dan aku sudah tak akan percaya lagi kalau matahari adalah penerang bagi kegelapan jiwa ini.

Aku kecewa dan benar-benar tidak akan pernah mempercayainya lagi. Karena dia telah tega mengumpanku untuk bemain dengan api dan panasnya hingga kemudian mencaciku kala api itu tengah membakar segalaku. Ah, diumpan kemudian dicaci, benar-benar menyakitkan. Langkahku terhenti di bibir malam. Aku getir, khawatir. Jubah hitamnya mengibas dan menari-nari di hadapanku. Aku gamang, aku takut. Aku berfikir sejenak mencoba berfilsafat; aduhai, bagaimanakah malam akan memperlakukan aku? Siang saja yang sarat akan harap dan kepercayaan telah melemparkan aku pada kubangan derita, apalagi dia, yang di selimuti gelap dan keegoisan? Aku terpaku kekal dengan berjuta kekhawatiran yang mengintimidasi perasaanku. Ku terdiam diamuk pilu, aku takut, benar-benar takut.
Kenapa aku bisa terdampar disini? Teringat semua bayang-bayang kelabu kala mentari menyinariku dengan kemunafikannya, juga jejak-jejakku yang terseret saat senja tak mempedulikanku, membuat perasaan ini semakin diremas-remas ketakutan. Ingin sekali ku terus berlari kencang menyusuri belantara malam, menembus lorong-lorong gelapnya, bersandar pada dindingnya, berpeluk dan bercumbu dengan dinginnya, hingga ku kan hilang, tak terlihat dan tak terbaca lagi. Tapi aku tak bisa, benar-benar tak bisa. Entahlah, tiba-tiba saja aku seperti didera perasaan takut.
Takut akan cadas-cadas yang runcing, semak-semak berduri, beling-beling pecah, batu dan kerikil-kerikil di belantara gelap itu semakin membuat kakiku berdarah-darah. Ketakutan itu membuat sumsum kakiku serasa berserakan di tanah. Aku tak kuasa berdiri apalagi berlari.

Malam beranjak semakin gelap. Hati ini semakin getir, karena aku tak punya penerang sedikitpun. Tak ada peta tak ada kompas, aku seperti kehilangan arah dan temali, kehilangan semuanya. Mungkin malam mengerti, mungkin pula dapat membaca isyarat hati.
Ia mendekatiku dan merangkulku. Ia berbisik, “Kamu takut? Kenapa takut? Lelaki tak boleh takut. Kamu harus berani. Dan janganlah lari dari kenyataan.” Aduhai, ada apa dengan kata-kata itu? Bagaikan listrik, menyetrum denyut nadiku. Bagai tangan-tangan malaikat, mencubit ulu hatiku. Sumsum yang berserakan, sedikit demi sedikit merambat merapat dan mulai menyusut kembali dikarenakan kata-kata itu. Ajaib, benar-benar ajaib.
Apakah aku tengah bermimpi? Ataukah itu sekedar fatamorgana? Entahlah, setahuku, fatamorgana tidak pernah menjelma di malam gelap. “Bangunlah. Aku ingin melihat senyummu. Bangkitlah, engkau terlalu agung untuk berlutut disitu. Bicaralah...!!” ucapnya lagi. Aku heran, benar-benar tak percaya. Inikah malam yang diselimuti gelap dan keegoisan itu? Ada apa dengannya? Aku yakin, dari intonasinya, ia pasti sedang tersenyum. Tapi senyumnya masih samar. Karena ia masih berselimut gelap. “Agung...??” aku gugup dan hanya sepatah kata ini yang bisa ku haturkan kepadanya. “Yach, agung. Engkau agung dihatiku.
Engkau datang ibarat obor bagiku, ah, bukan. Masih kurang agung. Engkau bagai rembulan. Ah, bukan juga. Masih kurang agung. Engkau ibarat cahaya. Yach, cahaya. Cahaya diatas cahaya. Cahaya yang agung dihatiku. Bicarala...!!” katanya lagi. Sungguh benar-benar kata yang tak kufahami. Tapi aku senang mendengarnya. Seagung itukah aku baginya? “Wahai malam, sedang bercandakah engkau dengan sabdamu yang indah itu?” hati ini menjerit dan masih tak percaya. “Cahaya? Cahaya apa???” tanyaku seakan tak mengerti. “Yach cahayaku. Aku gelap, aku dingin. Kaulah cahaya yang kurindu untuk menerangi sudut gelap itu, tepis prahara sepi dalam jiwaku. Aku ingin menjadi malammu, malam yang selalu kau terangi dengan cahayamu,” ujarnya lagi. Aneh terasa menyelimut kata-kata itu. Tapi begitu jelas. Jelas, sejelas jelasnya.
Ada harap, hiba sekaligus memaksa disitu. Aku bingung. Kegelisahan mulai merambat menelusupi relung jiwaku.

Kenangan kelam dimasa lalu menorehkan berjuta ragu di kedalaman hatiku. Ragu pada malam juga ragu pada diriku sendiri. Secepat inikah? Apa yang dilihat malam dariku? Sekedar kasihan atau ingin mengumpan dan menambah pilu? Aku harus menyabdakan keraguan ini padanya, harus, “Tapi aku rapuh, masa laluku kelam, jejak langkah inipun gersang. Aku takut kau akan kecewa dengan jiwa yang rapuh ini. Aku takut kau menyesal dan putus asa akan perasaamu sendiri. Aku takut cahayaku tak sebening yang kau mau. Ah, aku takut sekali,” ungkapku apa adanya. Semoga saja ia mengerti.